Kamis, 05 Maret 2015

MIKROBIOLOGI PERTANIAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Mikrobiologi merupakan ilmu yang mengkaji mikroorganisme yang mencakup kelompok organisme mikroskopik sebagai sel tunggal maupun kelompok sel, termasuk kajian virus yang bersifat mikroskopik meskipun bukan termasuk sel. Mikrooorganisme merupakan jasad hidup yang memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga sulit diamati tanpa menggunakan alat perbesaran seperti mikroskop (Kusnadi, et.al., 2003). Mikroorganisme atau disebur juga sebagai mikroba memiliki persebaran yang kosmopolit sehingga mudah ditemui dimana pun.
Kajian mengenai mikroba semakin berkembang seiring berkembangnya teknologi. Hal ini memungkinkan manusia untuk memanfaatkan mikroba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peran mikroba yang bermanfaat bagi manusia adalah pemanfaatan mikroba dalam bidang pangan, industri, dan pertanian. Dalam bidang pertanian, mikroba dapat bersimbiosis dengan akar tanaman tingkat tinggi yang disebut dengan mikoriza dan mikroba tertentu dapat digunakan dalam pembuatan kompos. Di sisi lain adanya rekayasa genetika turut andil dalam perkembangan dalam bidang pertanian teutama dalam pemuliaan tanaman budidaya.
Mikroba memiliki peranan yang tidak terbantahkan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pertanian. Mikroba juga berperan dalam pembentukan biogas dan siklus P dan N dalam lingkungan. Untuk itu disusunlah makalah yang berjudul Mikrobiologi Pertanian ini untuk mengetahui peranan mikroba dalam bidang pertanian.

1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah disusun, tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai berikut.
1.2.1.      Untuk mengetahui peran mikoriza dalam bidang pertanian.
1.2.2.      Untuk mengetahui teknologi pembuatan kompos dan manfaatnya dalam bidang pertanian.
1.2.3.      Untuk mengetahui manfaat biogas dalam bidang pertanian.
1.2.4.      Untuk mengetahui siklus nitrogen dan siklus fosfor.
1.2.5.      Untuk mengetahui macam rekayasa genetika untuk pemuliaan tanaman
1.2.6.      Untuk mengetahui virus, bakteri, dan jamur perusak tanaman

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mikroriza
Mikoriza merupakan bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. mikoriza pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Frank pada tanggal 17 April 1885 (Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Banyumas, 2012). Husna, Tuheteru, & Mahfudz (2007) menyatakan bahwa mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (cendawan) dan rhiza (akar). Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni Ektomikoriza dan Endomikoriza (CMA) (Husna, Tuheteru, & Mahfudz, 2007).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir–akhir ini mendapat perhatian dari para ahli lingkungan dan biologis untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati atau pupuk biologis. CMA merupakan sumber daya alam hayati potensial yang terdapat di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai eksosistem. Cendawan ini mampu membentuk simbiosis dengan sebagian besar (97%) famili tanaman darat. Penggunaan CMA tidak membutuhkan biaya yang besar karena teknologi produksinya murah, semua bahan tersedia di dalam negeri, dapat diproduksi dengan mudah dilapangan, pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemampuan memberikan manfaat pada rotasi tanaman berikutnya, tidak menimbulkan polusi, dan tidak merusak struktur tanah (Husna, Tuheteru, & Mahfudz, 2007).
Keuntungan lain yang diperoleh dari cendawan ini adalah dapat dijadikan sebagai bio indikator kualitas lingkungan, mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati karena dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada habitat-habitat yang mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah, sebagai jembatan transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya. Keberadaan cendawan di dalam tanah bersinergis dengan mikroba potensial seperti bakteri penambat nitrogen (keberadaan CMA diperlukan tanaman leguminosa untuk pembentukan bintil akar dan efektifitas penambatan nitrogen oleh rhizobium/bradyrhizobium) dan bakteri pelarut fosfat, jasad-jasad renik selulotik seperti Tricoderma sp. (Husna, Tuheteru, & Mahfudz, 2007).
B
A
Gambar 1. Perbandingan Tanaman Jati Usia 6 Bulan (A) Tanaman Jati yang Diinokulasi Mikoriza (B) Tanaman Jati yang Tidak Diinokulasi Mikroba.

Mikoriza arbuskula merupakan mikrorganisme potensial spesifik vegetasi lahan gambut yang membantu dalam penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh di lingkungan yang kurang menguntungkan. Mikoriza Arbuskula menjadi salah satu solusi dan alternatif untuk pengembangan dan meningkatkan produksi pertanian di lahan gambut. Mikoriza merupakan sumber daya hayati potensial yang tidak berdampak negative terhadap lingkungan. Keunggulan mikoriza tergantung pada banyak faktor dan sifatnya spesifik terhadap inang, habitat, dan infektivitasnya (Sasli & Ruliansyah, 2012).
Delvian (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) berperan bagi tanaman dalam meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara serta berfungsi meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan pathogen sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. CMA mampu meningkatkan penyerapan unsur hara makro terutama fosfat dan beberapa unsur makro seperti Cu, Zn, dan Bo sehingga CMA dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk mengefisiensikan penggunaan pupuk buatan terutama fosfat.
CMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhandan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang menguntungkan. CMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air. Pemanfaatan CMA menyebabkan tanaman lebih toleran pada lingkungan tanah masam, cekaman ganda dan kekeringan, dan mengefisiensikan pemupukan fosfor pada tanah Andosol. Inokulasi CMA secara signifikan meningkatkan produksi bobot kering daun dan status hara (P, Zn, dan Fe) pada daun, serta kandungan minyak atsiri (essential oil) dan artemisinin pada daun tanaman Artemisia annua L. (Hartoyo, et.al., 2011).

2.2 Teknologi Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahanbahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003 dalam Isroi, 2008). Menurut Yuniwati, Iskarima, & Padulemba (2012), kompos merupakan istilah pupuk organic yang dibuat oleh manusia dari sisa-sisa buangan makhluk hidup (hewan dan tumbuhan). Kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan dengan ciri-ciri warna yang berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah, dan bersuhu ruang.
Proses pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organic sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan (Isroi, 2008).
Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit (Isroi, 2008).
Isroi (2008) menyatakan bahwa kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek. Kompos dalam aspek ekonomi dapat bermanfaat untuk menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah, mengurangi volume atau ukuran limbah, dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya. Kompos dalam aspek lingkungan bermanfaat untuk mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan. Kompos dalam aspek bagi tanah dan tanaman bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur dan karakteristik tanah, meningkatkan kapasitas jerap air tanah, meningkatkan aktivitas mikroba tanah, meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen), menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman, menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman, dan meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah.
Manfaat kompos menurut Yuniwati, Iskarima, & Padulemba (2012) diantaranya sebagai berikut: menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, meningkatkan porositas, aerasi, dan komposisi mikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, menyimpan air tanah lebih lama, meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia, dan bersifat multi lahan karena dapat digunakan di lahan pertanian, perkebunan, reklamasi lahan kritis, maupun padang golf.
Menurut Isroi (2008), pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 500-700C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi (penguraian) bahan organik yang sangat aktif. Mikrobamikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawasenyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S.
Tabel 1. Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan
Kelompok Organisme
Organisme
Jumlah per gram kompos
Mikroflora
Bakteri
108-109

Aktinomicetes
105-108

Kapang
104-106
Mikrofauna
Protozoa
104-105
Makroflora
Jamur tingkat tinggi

Makrofauna
Cacing tanah, rayap, semut, kutu, dll

(Sumber: Isroi, 2008)

Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain rasio C/N, ukuran partikel, aerasi, porositas, kelembaban, temperature, pH, kandungan hara, dan kandungan zat berbahaya (Isroi 2008).

1.      Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Ronggarongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
5. Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolism mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 300-600C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 600C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba pathogen tanaman dan benihbenih gulma.
7. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam komposkompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
9. Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahanbahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
Isroi (2008) Menyebutkan bahwa metode atau teknologi pengomposan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat teknologi yang dibutuhkan, yaitu pengomposan dengan teknologi rendah (Low – Technology), pengomposan dengan teknologi sedang (Mid – Technology), dan pengomposan dengan teknologi tinggi (High – Technology).

2.2.1      Pengomposan dengan Teknologi Rendah
Teknik pengomposan yang termasuk kelompok ini adalah Windrow Composting. Kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang disusun sejajar. Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kelembaban kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang besar. Lama pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan.
Gambar 2 Teknologi Pengomposan Rendah

2.2.1      Pengomposan dengan Teknologi Sedang
Teknologi yang dugunakan untuk pengomposan dengan teknologi sedang antara lain sebagai berikut.
1.      Aerated static pile: gundukan kompos diaerasi statis
Tumpukan atau gundukan kompos (seperti windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik. Tumpukan kompos ditutup dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3–5 minggu.
Gambar 3 Teknik Pengomposan secara Aerated static pile

2.      Aerated compost bins: bak (kotak) kompos dengan aerasi
Pengomposan dilakukan di dalam bak-bak yang di bawahnya diberi aerasi. Aerasi juga dilakakukan dengan menggunakan blower/pompa udara. Seringkali ditambahkan pula cacing (vermikompos). Lama pengomposan kurang lebih 2–3 minggu dan kompos akan matang dalam waktu 2 bulan.
Gambar 4 Teknologi Pengomposan Aerated compost bins

2.2.2      Pengomposan dengan Teknologi Tinggi
Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang dibuat khusus untuk mempercepat proses pengomposan.
1.      Rotary Drum Composters
Pengomposan dilakukan di dalam drum berputar yang dirancang khusus untuk proses pengomposan. Bahan-bahan mentah dihaluskan dan dicampur pada saat dimasukkan ke dalam drum. Drum akan berputar untuk mengaduk dan memberi aearasi pada kompos.
Gambar 5 Teknologi Pengmposan Rotary Drum Composters

2.      Box/Tunnel Composting System
Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak atau bak skala besar. Bahanbahan mentah akan dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Tahap-tahap pengomposan berjalan di dalam beberapa bak atau kotak sebelum akhirnya menjadi produk kompos yang telah matang. Sebagian dikontrol dengan menggunakan komputer. Bak pengomposan dibagi menjadi dua zona, zona pertama untuk bahan yang masih mentah dan selanjutnya diaduk secara mekanik dan diberi aerasi. Kompos akan masuk ke bak zona ke dua dan proses pematangan kompos dilanjutkan.
Gambar 6 Box/Tunnel Composting System

Metode pembuatan kompos menurut Simanungkalit, et.al. (2009) dibagi menjadi beberapa metode, diantaranya sebagai berikut.
1.      Metode Indore
Pengomposan dilakukan di dalam lubang, yang dibuat dekat kandang ternak. Lubang berukuran kedalaman 1 m, lebar 1,5-2 m, panjang lubang tergantung dari ketersediaan bahan. Bahan dasar yang digunakan adalah campuran sisa/residu tanaman, kotoran ternak, urine ternak, abu bakaran kayu, dan air. Bahan yang keras tidak boleh melebihi 10%. Semua bahan yang tersedia disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan masing-masing 15 cm, dengan total ketebalan 1,0-1,5 m. Setiap lapisan disiram urine ternak secara merata, kelembaban tumpukan dijaga sekitar 90%. Pembalikan dilakukan 3 kali, yaitu pada 15, 30 dan 60 hari setelah kompos mulai dibuat.
2.      Metode Heap
Pengomposan dilakukan di permukaan tanah. Petak timbunan dibuat berukuran lebar 2 m, panjang 2 m dan tinggi timbunan 1,5 m. Lapisan dasar pertama adalah bahan yang kaya karbon setebal 15 cm (dedaunan, jerami, serbuk gergaji, dan batang jagung), lapisan berikutnya adalah bahan yang kaya nitrogen setebal 10-15 cm (residu sisa tanaman, rumput segar, kotoran ternak, dan sampah organik). Timbunan disusun hingga ketinggian 1,5 m. Kelembaban dijaga dengan menambahkan air secukupnya. Pembalikan dilakukan setelah 6 dan 12 minggu setelah proses pengomposan berlangsung.
3.      Metode Berkeley
Bahan dasar yang digunakan adalah dua bagian bahan organik kaya selulosa dan satu bagian bahan organik kaya nitrogen dengan nilai rasio C/N 30:1. Bahan disusun berlapis-lapis hingga ketebalan berukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah 2-3 hari proses pengomposan berjalan terbentuk suhu tinggi, secara berkala kompos harus dibalik. Setelah hari ke-10, suhu mulai menurun dan bahan berubah menjadi remah dan berwarna coklat gelap. Pengomposan selesai setelah 2 minggu.
4.      Vermi kompos.
Memanfaatkan cacing sebagai perombak bahan organik. Kotoran cacing yang disebut kascing kaya N, P, K, Ca, dan Mg yang tersedia bagi tanaman, mengandung vitamin, enzim, dan mikroorganisme. Vermikompos dibuat dengan menggunakan kotak dari papan kayu atau kotak plastic yang sudah tidak terpakai atau dengan skala besar. Tiga tahap pembuatan vermikompos, pengadaan bahan organik, perbanyakan cacing tanah, dan proses pengomposan.

2.3 Biogas
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Rahmawati, 2013). Menurut Prihandana dan Hendroko, 2008 biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik dengan bantuan bakteri. Proses degradasi material organik ini tanpa melibatkan oksigen disebut anaerobic digestion. Gas yang dihasilkan sebagian besar (lebih 50 persen) berupa methana. Material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan diuraikan melalui dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama, material organik akan didegradasi menjadi asam lemah dengan bantuan bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah pada tingkat hidrolisis dan  asidifikasi.  Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi senyawa yang sederhana. Sedangkan  asidifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa sederhana (Prihandana dan Hendroko, 2008). Setelah material organik berubah menjadi asam, maka tahap kedua dari proses  anaerobic digestion adalah pembentukan gas methana dengan bantuan bakteri pembentuk methana seperti methanococus, methanosarcina, methano bacterium.
Proses pembuatan biogas yaitu dengan mencampurkan bubur kotoran hewan dan bahan sisa organik lain dalam suatu penampung atau pengumpul yang disambung dengan tangki digester dan  anaerobik (Foth, 1988). Produksi gas menimbulkan tekanan dalam tangki digester dan gas dialirkan keluar melalui pipa. Perlahan-lahan sisa perombakan bahan organik dari tangki digester akan keluar sebagai lumpur dan cairan yang masih berisi unsur penting bagi tanaman sehingga sangat baik digunakan sebagai pupuk (Foth, 1988).
Gambar 7. Proses Pembuatan Biogas

Polprasert (1980) menyatakan bahwa komposisi biogas terdiri dari metan (55-65%) dan karbondioksida (45-35%), merupakan komponen gas yang dominan serta nitrogen (0-3%), hidrogen (0-1%), hidrogen sulfida (0-1%), dan unsur N, P, K serta mineral lainnya yang terakumulasi di  sludge. 
Junus (1987) mengemukakan bahwa lumpur yang keluar dari instalasi biogas terdiri dari dua komponen yaitu komponen padat dan cair berupa sludge. Sludge yang keluar dari instalasi biogas berupa padatan dan  cairan. Sludge padat dapat diolah menjadi kompos dengan cara dijemur dan dikemas sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Sludge cair dapat  dimanfaatkan  sebagai pupuk organik cair. Sludge mempunyai kandungan hara yang  sama dengan pupuk organik yang telah matang sebagaimana halnya kompos. Oleh  karena  itu sludge dapat langsung digunakan untuk memupuk tanaman. Menurut Simamora dkk. (2005) sludge yang berasal dari biogas sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti N, P,Mg, Ca, K, Cu dan Zn.

2.4 Siklus Nitrogen
Nitrogen adalah unsur yang paling berlimpah di atmosfer (78% gas di atmosfer adalah nitrogen). Nitrogen di alam berada dalam berbagai bentuk dan berada dalam keadaan dinamis mengikuti perubahan fisik dan kimia dalam suatu daur Nitrogen. Siklus nitrogen adalah suatu proses konversi senyawa yang mengandung unsur nitrogen menjadi berbagai macam bentuk kimiawi yang lain. Transformasi ini dapat terjadi secara biologis maupun non-biologis. Siklus nitrogen secara khusus sangat dibutuhkan dalam ekologi karena ketersediaan nitrogen dapat mempengaruhi tingkat proses ekosistem kunci, termasuk produksi primer dan dekomposisi. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, penggunaan pupuk nitrogen buatan, dan pelepasan  nitrogen dalam air limbah telah secara dramatis mengubah siklus nitrogen global (Anonymous, 2011).
Sebagian besar nitrogen yang terdapat di dalam organisme hidup berasal dari penambatan (reduksi) oleh mikroorganisme prokariot. Sebagian diantaranya terdapat di akar tumbuhan tertentu atau dari pupuk hasil penambatan secara industry. Sejumlah kecil nitrogen pindah dari atmosfer ke tanah sebagai NH4+ dan NO3-  bersama air hujan dan diserap oleh akar. NH4+ ini berasala dari pembakaran industry, aktivitas gunung berapi dan kebakaran hutan sedangkan NO3- berasal dari oksidasi N2 oleh O2 atau ozon dengan bantuan kilat atau radiasi ultraviolet, sumber lain NO3-  adalah samudera.  Penyerapan NO3- dan NH4+ oleh tumbuhan memungkinkan tumbuhan untuk membentuk berbagai senyawa nitrogen terutama protein. Pupuk, tumbuhan mati, mikroorganisme, serta hewan merupakan sumber penting nitrogen yang dikembalikan ke tanah tapi sebagaian besar nitrogen tersebut tidak larut dan tidak segera tersedia bagi tumbuhan.
Pengubahan nitrogen organic menjadi NH4+ oleh bakteri dan fungi tanah disebut Amnoifikasi yang dapat berlangsung oleh berbagai macam mikroorganisme pada suhu dingin dan pada berbagai nilai ph. Selanjutnya pada tanah yang hangat dan lembab dan ph sekitar netral NH4+ akan dioksidasi menjadi nitrit (NO2) dan NO3- dalam beberapa hari setelah pembentukkannya atau penambahannya sebagai pupuk disebut dengan Nitrifikasi yang berguna dalam menyediakan energi bagi kelangsungan hidup dan perkembangan mikroba tersebut (Patty, 2010).
Selain itu terdapat pula denitrifikasi yaitu suatu proses pembentukan N2, NO, N2O dan NO2 dari NO3-  oleh bakteri aneorobik yang berlangsung di dalam tanah yang penetrasi O2-nya terbatas, tergenang, padat dan daerah dekat pemukiman tanah yang konsentrasi O2-nya rendah karena penggunaannya yang cepat dalam oksidasi bahan organik. Tumbuhan kehilangan sejumlah kecil nitrogen ke atmosfer sebagai NH3, N2O, NO2, dan NO terutama jika diberi pupuk nitrogen dengan baik.
Gambar 8. Siklus Nitrogen

2.6 Siklus Fosfor
Fosfor dibutuhkan oleh semua organisme untuk energi dan pertumbuhan. Secara geokimia, fosfor merupakan 11 unsur yang sangat melimpah di kerak bumi (Benitez-Nelson, 2000). Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur utama di dalam proses fotosintesis. Fosfor biasanya berasal dari pupuk buatan yang kandungannya berdasarkan rasio N-P-K. Sebagai contoh 15-30-15, mengindikasikan bahwa berat persen fostor dalam pupuk buatan adalah 30% fosfor oksida (P2O5). Fosfor yang dapat dikonsumsi oleh tanaman adalah dalam bentuk fosfat, seperti diamonium fosfat ((NH4)2HPO4) atau kalsium fosfat dihidrogen (Ca(H2PO4)2). Sementara menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) fosfor merupakan kunci kehidupan tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-) dan ion ortofosfat sekunder (HPO42-). Kemungkinan P masih dapat diserap dalam bentuk lain, yaitu pirofosfat dan metafosfat, selain itu dapat pula diserap dalam bentuk senyawa fosfat organik yang larut dalam air misalnya asam nukleat dan phitin.
Fosfat merupakan salah satu bahan galian yang sangat berguna untuk pembuatan pupuk. Sekitar 90% konsumsi fosfat dunia dipergunakan untuk pembuatan pupuk, sedangkan sisanya dipakai oleh industri ditergen dan makanan ternak (Suhala & Ari, 1997). Di alam fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan anorganik (pada air, batu  dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik, begitu juga ddanya peristiwa erosi dan pelapukan menyebabkan fosfat terbawa menuju sungai hingga laut membentuk sedimen di dasar laut. Adanya pergerakan dasar bumi menyebabkan sedimen yang mengandung fosfat muncul ke permukaan. Di darat tumbuhan mengambil fosfat yang terlarut dalam air tanah. Herbivora mendapatkan fosfat dari tumbuhan yang dimakannya dan karnivora mendapatkan fosfat dari herbivora yang dimakannya. Seluruh hewan mengeluarkan fosfat melalui urin dan feses. Bakteri dan jamur mengurai bahan-bahan anorganik di dalam tanah lalu melepaskan fosfor kemudian diambil oleh tumbuhan
Gambar 9. Daur Fosfor

Walaupun dibutuhkan oleh organisme danau, keberadaan jumlah Fosfor dalam danau sangat dibatasi, dimana jumlah Fosfor harus sangat kecil jika dibandingkan dengan keberadaan jumlah Nitrogen. Pembatasan keberadaan jumlah Fosfor di perairan danau diindikasikan oleh sejumlah parameter berikut ini (Sigee, 2004).
1.      Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan dengan perbandingan antara konsentrasi Fosfor dengan konsentrasi Nitrogen dalam badan air, dimana rasio N/P adalah >10 : 1.
2.      Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan dengan perbandingan antara Partikulat Karbon (PC), Partikulat Fosfor (PP) dan Partikulat Nitrogen (PN), dimana pembatasan jumlah konsentrasi Fosfor dalam badan air diindikasikan oleh rasio PC/PN > 106 dan PN/PP > 16.
2.7 Rekayasa Genetika untuk Pemuliaan Tanaman
Pemuliaan tanaman  dilakukan untuk mendapatkan bibit tanaman atau hewan ternak yang lebih unggul sehingga dapat kita nikmati hasilnya. Contohnya terdapat berbagai jenis buah-buahan yang unggul dan dijual di supermarket, antara lain ; semangka tanpa biji, jeruk mandarin, durian montong, jambu Bangkok, jagung manis, tomat tanpa biji, dll.
1.      Hibridasi (perkawinan silang)
Hibridasi merupakan suatu proses perkawinan silang antara dua individu tumbuhan yang memiliki jenis yang sama, tetapi berbeda varietasnya.  Proses ini dikembangkan secara ilmiah oleh seorang ahli genetika yang juga seorang biarawan Gregor John Mendel. Di dalam proses hibridasi, perlu diperhatikan hal-hal, sebagai berikut.
a         Sifat anak dari hasil hibridasi merupakan sifat gabungan dari kedua induknya.
b        Untuk mengetahui sifat unggul dari suatu tanaman budi daya, sebaiknya kita mengetahui susunan gen (genotipe) tanaman yang akan kita hibridasi. Dengan demikian sifat keturunannya dapat dengan mudah kita prekdisikan. Ada gen yang lebih unggul dari gen lainnya dalam satu lokus, sehingga akan menutup penampakan dari gen lain sebagai pasangannya
2.      Radiasi untuk Memperoleh Bibit Unggul
Dengan memberikan efek radiasi pada tanaman  dapat menimbulkan perubahan struktur dan komposisi baik pada tingkat kromosom maupun DNA-nya. Jadi pada prinsipnya, radiasi yaitu memberikan sinar radioaktif terhadap bibit tanaman tertentu, sehingga gen atau kromosom pada tanaman tersebut dapat bermutasi. Sehingga akan diperoleh mutan-mutan baru dan dengan cara seleksi akhirnya akan diperoleh mutan yang diinginkan. Dengan cara radiasi di Indonesia telah menghasilkan tanaman unggul yang dapat kita kenal seperti papaya berbuah besar, tak berbiji, dan rasanya manis; kedelai muria yang mempunyai sifat berbentuk tanaman pendek, tahan rebah, produksi lebih tinggi, umur lebih pendek, dan tahan terhadap penyakit karat daun; jenis padi seperti otomita II dan otomita II yang mempunyai sifat unggul berupa tahan terhadap hama wereng coklat hijau, umur pendek, produksi lebih tinggi, dan rasa lebih enak.

3.      DNA Rekombinan
Teknik DNA-rekombinan yaitu mentransfer gen dari suatu organisme ke dalam organisme lainnya yang belum tentu mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Organisme yang diperoleh dengan cara ini disebut organisme transgenik. Tanaman transgenik merupakan tanaman yang mengandung gen asing didalam genomnya. Gen asing ini disebut transgene. Sebagai contoh, transgene yang banyak dipakai untuk menghasilkan tanaman tahan hama yaitu gen Bt yang berasal dari bakteri tanah yaitu Bacillus thuringiensis. Gen ini dapat menghasilkan protein yang mampu membunuh serangga Lepidoptera. Tanaman yang mengandung gen BT tidak disukai serangga, sehingga mengurangi penggunaan insektisa delama proses pertumbuhan tanaman. Tanaman-tanaman transgenik dengan gen BT yang sudah diuji coba antara lain padi, jagung dan kentang.
Transgene dapat masuk ke dalam sel inang melalui transformasi (menggunakan vektor plasmid) atau transfeksi (menggunakan vektor virus). Secara sederhana tahap perakitan tanaman transgenik adalah sebagai berikut.
1.      Isolasi gen atau DNA dari organisme tertentu yang mempunyai sifat spesifik
2.      Ligasi DNA traget ke dalam vektor sehingga terbentuk DNA rekombinan
3.      Transformasi vektor (DNA rekombinan) ke dalam bakteri tertentu dengan tujuan untuk memperbanyak kopi DNA rekombinan
4.      Penyisipan vektor dengan DNAtarget ke dalam sel tanaman yang dikehendaki yang mempunyai sifat tersebut.
Gambar 10. Tahap Perakitan Tanaman Transgenik



2.8 Virus, Bakteri, dan Jamur Perusak Tanaman
A. Penyakit yang disebabkan jamur
1.      Pada kacang tanah
a)      Bercak daun Cercospora spp
b)      Bercak daun Cercosporidium spp
c)      Penyakit Karat Puccinia Arachidis
d)     Busuk leher akar Aspergillus Niger
e)      Jamur kuning dan Alfatoksin Aspergillus flavus
f)       Busuk batang Sclerotium rolfsii
2.      Penyakit bulai pada jagung dapat  dalam Shurtleff (1980), Wakman dan Djatmiko (2002), serta Rathore dan Siradhana (1988) melaporkan  disebabkan oleh 10 spesies dari tiga generasi yaitu:
a)      Peronosclerospora maydis (Java downy mildew)
b)      P. philippinensis (Philippine downy mildew)
c)      P. sorghi (Sorghum downy mildew)
d)     P. sacchari (Sugarcane downy mildew)
e)      P. spontanea (Spontanea downy mildew)
f)       P. miscanthi (Miscanthi downy mildew).
g)      P. heteropogoni (Rajasthan downy mildew)
h)      Sclerophthora macrospora (Crazy top)
i)        S. rayssiae var. zeae (Brown stripe)
j)        Sclerospora graminicola (Graminicola downy mildew)
3.      Penyakit layu pada tanaman Solanaceae disebabkan oleh Fusarium (Semangun 1996). Penyakit yang disebabkan bakteri
a.       Pada kacang tanah penyakit layu disebabkan Pseudomonas solanacearum
b.      Penyakit busuk batang jagung disebabkan oleh bakteri Erwinia chrysanthemi pv. zeae
c.       Penyakit hawar dan layu bakteri Goss disebabkan oleh bakteri Corynebacterium nebraskense (Shurtleff 1980).
d.      Penyakit pada tanaman jagung hawar daun Stewart’s yang disebabkan oleh bakteri Erwinia stewartii
B. Penyakit Yang Disebabkan Virus
1.      Penyakit virus belang (Groundnut mottle virus)
2.      Penyakit Bilur (peanut stripe virus)
3.      Penyakit Belang Samar (Cowpea mild motlle virus)
4.      Penyakit mozaik dan penyakit sapu (witchesbroom)
5.      Penyakit Virus Mosaik Kerdil Jagung (Maize Dwarf Mosaic Virus = MDMV)
6.      Penyakit Virus Kerdil Khlorotik Jagung (Maize Chlorotic Dwarf Virus Disease = MCDV)
7.      Penyakit Mosaik Virus Jagung (Maize Mosaic Virus Disease = NMV)
8.      Penyakit Virus Gores Jagung (Maize Streak Virus Disease = MSV)
9.      Penyakit Virus Mosaik Tebu (Sugarcane Mosaic Virus = ScMV)
10.  CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) adalah penyakit yang merusak pembuluh tapis batang tanaman jeruk yang disebabkan oleh virus.
11.  TMV (Tobacco Mozaic Virus) virus mosaik yang menyerang tanaman tembakau. Daun tanaman tembakau yang terserang virus mosaik menjadi berwarna belang hijau muda sampai hijau tua.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah diuraikan, kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut.
1.      Peran mikoriza dalam bidang pertanian adalah sebagai bioindikator kualitas lingkungan, mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati karena dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada habitat-habitat yang mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah, sebagai jembatan transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya.
2.      Manfaatn kompos dalam bidang pertanian adalah memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
3.      Manfaat biogas dalam bidang pertanian adalah keluaran limbah biogas berupa sludge yang sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti N, P, Mg, Ca, K, Cu dan Zn.
4.      Siklus nitrogen merupakan suatu proses konversi senyawa yang mengandung unsur nitrogen menjadi berbagai macam bentuk kimiawi yang lain, sedangkan siklus fosfor sangat penting karena merupakan unsur utama di dalam proses fotosintesis.
5.      Macam-macam rekayasa genetika untuk pemuliaan tanaman adalah hibridasi (perkawinan silang), radiasi untuk memperoleh bibit unggul, dan DNA rekombinan.
6.      Virus, bakteri, dan jamur perusak tanaman seperti: Bercak daun Cercospora spp, penyakit virus belang (Groundnut mottle virus), dll.

DAFTAR RUJUKAN
Anonymous. 2011. Siklus Nitrogen. (Online). (http://.agroinformatika.net/2011/11/siklusnitrogen.html). Diakses 14 November 2014.
Benitez-Nelson, C.R.2000. The biogeochemical cycling of phosphorus in marine systems. Jurnal Earth-Science Reviews , 51: 109-135.
Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan Agronomi Cendawan Mikoriza Arbuskula. (Online). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1089/1/06005281.pdf), diakses pada 13 Oktober 2014.
Foth, H. D. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Endang D. P., Dwi R. L., dan Rahayuning T. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hartoyo, B., Ghulamahdi, M., Darusman, L.K., Aziz, S. A., & Mansur, I., 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella Asiatica (L.) Urban). Jurnal Littri. (Online), 17 (1): 32-40, (http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/upload.files/File/
publikasi/jurnal/Jurnal%20Littri%2017(1)2011/Jurnal%20Littri%2017(1)
011-BudiH.pdf), diakses pada 13 Nopember 2014.
Husna, Tuheteru, D. F., & Mahfudz. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati Di Muna. Info Teknis. (Online) 5 (1), (http://www.forda-mof.org/files/aplikasi__mikoriza_untuk_memacu_pertumbuhan_jati__di_muna.pdf), diakses pada 13 Nopember 2014.
Isroi. 2008. Kompos. (Online), (http://isroi.files.wordpress.com/2008/02/kompos.pdf), diakses 13 Nopember 2014.
Junus, M. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio. Gajah Mada University Press, Malang.
Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi, A., Purwaningsih, W., & Rochintaniawati, D.. 2003. Mikrobiologi. Malang: Technical Cooperation Project for Development of Science and Mathematic Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia (IMSTEP) JICA.
Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Banyumas. 2012. Mikoriza dan Peranannya. (Online). (http://warsitotti.files.wordpress.com/2012/01/mikoriza.pdf), diakses pada 13 Nopember 2014.
Patty, Aldi. 2010. Fiksasi Nitrogen Oleh Bakteri. (Online). (http://aldipatty.com/2010/12/fiksasi-nitrogen-oleh-bakteri.html), Diakses pada 14 November 2014.
Polprasert, C. 1980. Organic Waste Recycling. John Wiley ans Sons, Chicester.  
Prihandana, R dan Hendroko, Roy. 2008. Energi Hijau Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahmawati, Ari. 2013. Limbah Peternakan Sapi Dan Penanggulangan. Jurnal pencemaran lingkungan, Vol. 4, Tahun 2013 Universitas Bengkulu.
Rathore, R. S. and B. S. Siradhana. 1988. Survival and inoculum buildup of Peronosclerospora heteropogoni on root of Heteropogon contortus and its control. Fifth International Congres of Plant Pathology. Book of Abstract.
Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah.Yogyakarta: Kanisius.
Sasli, Iwan & Ruliansyah, Agus. 2012. Pemanfaatan Mikoriza Arbuskula Spesifik Lokasi untuk Efisiensi Pemupukan pada Tanaman Jagung di Lahan Gambut Tropis. Agrovigor. (Online), 5 (2): 65-74, (http://pertanian.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2013/02/1.-Agrovigor-Sept-2012-Vol-5-No-2-Pemanfaatan-Mikoriza-Arbuskula-Iwan-S-.pdf), diakses pada 13 Nopember 2014
Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sigee, D.C. 2004. Freshwater Microbiology. West Sussex: John Willey and Sons
Simamora,S, dkk. 2005. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas. Agro Medika Pustaka.
Simanungkalit, R.D.M., Suriadikarta, D. A., Saraswati, R., Setyorini, D., & Hartatik, W.. 2009. Teknologi Kompos. (Online), (http://203.176.181.70/bppi/lengkap/bpp09039.pdf), diakses pada 13 Nopember 2014.
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of Corn Diseases. Second Edition. USA :The American Phytopathological Society.
Suhala, S. & Ari M.1997.Bahan galian industri. Bandung :Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral.
Wakman, W. dan H. A. Djatmiko. 2002. Sepuluh spesies cendawan penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia di UNSOED Purwokerto, 7 September 2002
Yuniwati, M.,  Iskarima, F., & Padulemba, A.. 2012. Optimalisasi Pembuatan Kompos dari Sampah Organik dengan Fermentasi Menggunakan EM4. Jurnal Teknologi, (Online), 5 (2): 172-181, (http://jurtek.akprind.ac.id/sites/default/files/172_181_murni1.pdf), diakses pada 13 Noprmbrt 2014.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar