BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikrobiologi merupakan
ilmu yang mengkaji mikroorganisme yang mencakup kelompok organisme mikroskopik
sebagai sel tunggal maupun kelompok sel, termasuk kajian virus yang bersifat
mikroskopik meskipun bukan termasuk sel. Mikrooorganisme merupakan jasad hidup
yang memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga sulit diamati tanpa menggunakan
alat perbesaran seperti mikroskop (Kusnadi, et.al.,
2003). Mikroorganisme atau disebur juga sebagai mikroba memiliki persebaran
yang kosmopolit sehingga mudah ditemui dimana pun.
Kajian mengenai mikroba
semakin berkembang seiring berkembangnya teknologi. Hal ini memungkinkan
manusia untuk memanfaatkan mikroba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peran
mikroba yang bermanfaat bagi manusia adalah pemanfaatan mikroba dalam bidang
pangan, industri, dan pertanian. Dalam bidang pertanian, mikroba dapat
bersimbiosis dengan akar tanaman tingkat tinggi yang disebut dengan mikoriza
dan mikroba tertentu dapat digunakan dalam pembuatan kompos. Di sisi lain
adanya rekayasa genetika turut andil dalam perkembangan dalam bidang pertanian
teutama dalam pemuliaan tanaman budidaya.
Mikroba
memiliki peranan yang tidak terbantahkan dalam kehidupan manusia, termasuk
dalam bidang pertanian. Mikroba juga berperan dalam pembentukan biogas dan
siklus P dan N dalam lingkungan. Untuk itu disusunlah makalah yang berjudul Mikrobiologi Pertanian ini untuk
mengetahui peranan mikroba dalam bidang pertanian.
1.2
Tujuan
Berdasarkan latar
belakang yang telah disusun, tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai
berikut.
1.2.1.
Untuk mengetahui peran mikoriza dalam bidang pertanian.
1.2.2.
Untuk mengetahui teknologi pembuatan kompos dan manfaatnya
dalam bidang pertanian.
1.2.3.
Untuk mengetahui manfaat biogas dalam bidang pertanian.
1.2.4.
Untuk mengetahui siklus nitrogen dan siklus fosfor.
1.2.5.
Untuk mengetahui
macam rekayasa genetika untuk pemuliaan tanaman
1.2.6.
Untuk mengetahui virus, bakteri,
dan jamur perusak tanaman
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mikroriza
Mikoriza merupakan bentuk asosiasi simbiotik antara
akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. mikoriza pertama
kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Frank pada tanggal 17 April 1885
(Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Banyumas, 2012). Husna, Tuheteru,
& Mahfudz (2007) menyatakan bahwa mikoriza adalah suatu bentuk hubungan
simbiosis mutualisma antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi.
Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (cendawan) dan rhiza
(akar). Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh karbohidrat
dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan memberi
keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap
unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka
mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni Ektomikoriza dan
Endomikoriza (CMA) (Husna, Tuheteru, & Mahfudz, 2007).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu
tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir–akhir ini mendapat perhatian dari
para ahli lingkungan dan biologis untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati atau
pupuk biologis. CMA merupakan sumber daya alam hayati potensial yang terdapat
di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai eksosistem. Cendawan ini mampu
membentuk simbiosis dengan sebagian besar (97%) famili tanaman darat.
Penggunaan CMA tidak membutuhkan biaya yang besar karena teknologi produksinya
murah, semua bahan tersedia di dalam negeri, dapat diproduksi dengan mudah
dilapangan, pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemampuan
memberikan manfaat pada rotasi tanaman berikutnya, tidak menimbulkan polusi,
dan tidak merusak struktur tanah (Husna, Tuheteru, & Mahfudz, 2007).
Keuntungan lain yang diperoleh dari cendawan ini
adalah dapat dijadikan sebagai bio indikator kualitas lingkungan,
mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati karena dapat
mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada habitat-habitat yang
mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah, sebagai jembatan
transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya. Keberadaan
cendawan di dalam tanah bersinergis dengan mikroba potensial seperti bakteri
penambat nitrogen (keberadaan CMA diperlukan tanaman leguminosa untuk
pembentukan bintil akar dan efektifitas penambatan nitrogen oleh
rhizobium/bradyrhizobium) dan bakteri pelarut fosfat, jasad-jasad renik
selulotik seperti Tricoderma sp.
(Husna, Tuheteru, & Mahfudz, 2007).
B
|
A
|
Gambar 1. Perbandingan
Tanaman Jati Usia 6 Bulan (A) Tanaman Jati yang Diinokulasi Mikoriza (B)
Tanaman Jati yang Tidak Diinokulasi Mikroba.
Mikoriza arbuskula merupakan mikrorganisme potensial
spesifik vegetasi lahan gambut yang membantu dalam penyerapan unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh di lingkungan yang kurang
menguntungkan. Mikoriza Arbuskula menjadi salah satu solusi dan alternatif
untuk pengembangan dan meningkatkan produksi pertanian di lahan gambut.
Mikoriza merupakan sumber daya hayati potensial yang tidak berdampak negative
terhadap lingkungan. Keunggulan mikoriza tergantung pada banyak faktor dan
sifatnya spesifik terhadap inang, habitat, dan infektivitasnya (Sasli &
Ruliansyah, 2012).
Delvian (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan Cendawan
Mikoriza Arbuskula (CMA) berperan bagi tanaman dalam meningkatkan kapasitas
penyerapan unsur hara serta berfungsi meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan dan pathogen sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. CMA
mampu meningkatkan penyerapan unsur hara makro terutama fosfat dan beberapa
unsur makro seperti Cu, Zn, dan Bo sehingga CMA dapat dijadikan sebagai alat
biologis untuk mengefisiensikan penggunaan pupuk buatan terutama fosfat.
CMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhandan hasil
tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang menguntungkan. CMA yang
menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jaringan hifa
eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan sub soil sehingga
meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air. Pemanfaatan CMA
menyebabkan tanaman lebih toleran pada lingkungan tanah masam, cekaman ganda
dan kekeringan, dan mengefisiensikan pemupukan fosfor pada tanah Andosol.
Inokulasi CMA secara signifikan meningkatkan produksi bobot kering daun dan
status hara (P, Zn, dan Fe) pada daun, serta kandungan minyak atsiri (essential
oil) dan artemisinin pada daun tanaman Artemisia annua L.
(Hartoyo, et.al., 2011).
2.2 Teknologi Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap
dari campuran bahanbahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh
populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab,
dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003 dalam Isroi,
2008). Menurut Yuniwati, Iskarima, & Padulemba (2012), kompos merupakan
istilah pupuk organic yang dibuat oleh manusia dari sisa-sisa buangan makhluk
hidup (hewan dan tumbuhan). Kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami
pelapukan dengan ciri-ciri warna yang berbeda dengan warna bahan pembentuknya,
tidak berbau, kadar air rendah, dan bersuhu ruang.
Proses pengomposan adalah proses penguraian bahan
organik secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organic sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol
proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini
meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup,
pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Secara alami
bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba
maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami
berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah
banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan (Isroi, 2008).
Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan
merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan
tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang
bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas
mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan
menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas
mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan
penyakit (Isroi, 2008).
Isroi (2008) menyatakan bahwa kompos memiliki banyak
manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek. Kompos dalam aspek ekonomi dapat
bermanfaat untuk menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah,
mengurangi volume atau ukuran limbah, dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dari pada bahan asalnya. Kompos dalam aspek lingkungan bermanfaat untuk
mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan mengurangi kebutuhan lahan
untuk penimbunan. Kompos dalam aspek bagi tanah dan tanaman bermanfaat untuk
meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur dan karakteristik tanah,
meningkatkan kapasitas jerap air tanah, meningkatkan aktivitas mikroba tanah,
meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen),
menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman, menekan pertumbuhan/serangan
penyakit tanaman, dan meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah.
Manfaat kompos menurut Yuniwati, Iskarima, &
Padulemba (2012) diantaranya sebagai berikut: menyediakan unsur hara mikro bagi
tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan tekstur tanah,
meningkatkan porositas, aerasi, dan komposisi mikroorganisme tanah,
meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, memudahkan pertumbuhan akar tanaman,
menyimpan air tanah lebih lama, meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia,
dan bersifat multi lahan karena dapat digunakan di lahan pertanian, perkebunan,
reklamasi lahan kritis, maupun padang golf.
Menurut Isroi (2008), pengomposan secara sederhana
dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama
tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi
akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat
dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu
akan meningkat hingga di atas 500-700C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang
aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang
aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekmposisi (penguraian) bahan
organik yang sangat aktif. Mikrobamikroba di dalam kompos dengan menggunakan
oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah
sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami
penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu
pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 –
40% dari volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik
(menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang
dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen
dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi
tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini
tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang
tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawasenyawa yang berbau tidak
sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat,
puttrecine), amonia, dan H2S.
Tabel 1.
Organisme yang terlibat dalam proses pengomposan
Kelompok Organisme
|
Organisme
|
Jumlah per gram kompos
|
Mikroflora
|
Bakteri
|
108-109
|
|
Aktinomicetes
|
105-108
|
|
Kapang
|
104-106
|
Mikrofauna
|
Protozoa
|
104-105
|
Makroflora
|
Jamur tingkat
tinggi
|
|
Makrofauna
|
Cacing tanah,
rayap, semut, kutu, dll
|
|
(Sumber: Isroi, 2008)
Faktor-faktor yang
memperngaruhi proses pengomposan antara lain rasio C/N, ukuran partikel,
aerasi, porositas, kelembaban, temperature, pH, kandungan hara, dan kandungan
zat berbahaya (Isroi 2008).
1.
Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk
proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C
sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N
di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk
sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N
untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Ukuran
Partikel
Aktivitas mikroba berada
diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan
meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan
berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar
bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan
memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat
terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan
terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar
dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan
oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat,
maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap.
Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di
dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang
diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur
volume rongga dibagi dengan volume total. Ronggarongga ini akan diisi oleh air
dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila
rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses
pengomposan juga akan terganggu.
5. Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan
yang sangat penting dalam proses metabolism mikroba dan secara tidak langsung
berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik
apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban
40-60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila
kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan
lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%,
hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan
menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Panas dihasilkan dari
aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan
konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi
oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat
terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 300-600C
menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 600C
akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan
tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba
pathogen tanaman dan benihbenih gulma.
7. pH
Proses pengomposan dapat
terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan
berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8
hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan
organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara
temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan
produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan
pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral.
8. Kandungan
hara
Kandungan P dan K juga
penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam komposkompos
dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses
pengomposan.
9. Kandungan
bahan berbahaya
Beberapa bahan organik
mungkin mengandung bahanbahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba.
Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang
termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama
proses pengomposan.
Isroi (2008)
Menyebutkan bahwa metode atau teknologi pengomposan dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok berdasarkan tingkat teknologi yang dibutuhkan, yaitu pengomposan
dengan teknologi rendah (Low –
Technology), pengomposan dengan teknologi sedang (Mid – Technology), dan pengomposan dengan teknologi tinggi (High – Technology).
2.2.1
Pengomposan dengan Teknologi
Rendah
Teknik pengomposan yang
termasuk kelompok ini adalah Windrow
Composting. Kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang disusun sejajar.
Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan
suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kelembaban kompos. Teknik ini
sesuai untuk pengomposan skala yang besar. Lama pengomposan berkisar antara 3
hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan.
Gambar 2 Teknologi
Pengomposan Rendah
2.2.1
Pengomposan dengan Teknologi Sedang
Teknologi yang dugunakan untuk pengomposan dengan teknologi sedang
antara lain sebagai berikut.
1.
Aerated static pile: gundukan kompos diaerasi
statis
Tumpukan atau gundukan kompos (seperti windrow system) diberi aerasi dengan
menggunakan blower mekanik. Tumpukan kompos ditutup dengan terpal plastik.
Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3–5 minggu.
Gambar 3 Teknik
Pengomposan secara Aerated static pile
2.
Aerated compost bins: bak (kotak) kompos dengan
aerasi
Pengomposan dilakukan di dalam bak-bak yang di bawahnya diberi aerasi.
Aerasi juga dilakakukan dengan menggunakan blower/pompa udara. Seringkali
ditambahkan pula cacing (vermikompos). Lama pengomposan kurang lebih 2–3 minggu
dan kompos akan matang dalam waktu 2 bulan.
Gambar 4 Teknologi Pengomposan Aerated compost bins
2.2.2
Pengomposan dengan Teknologi Tinggi
Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang dibuat
khusus untuk mempercepat proses pengomposan.
1.
Rotary Drum Composters
Pengomposan dilakukan di dalam drum berputar yang
dirancang khusus untuk proses pengomposan. Bahan-bahan mentah dihaluskan dan
dicampur pada saat dimasukkan ke dalam drum. Drum akan berputar untuk mengaduk
dan memberi aearasi pada kompos.
Gambar
5 Teknologi Pengmposan Rotary Drum Composters
2.
Box/Tunnel Composting System
Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak atau bak skala besar. Bahanbahan
mentah akan dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Tahap-tahap pengomposan
berjalan di dalam beberapa bak atau kotak sebelum akhirnya menjadi produk
kompos yang telah matang. Sebagian dikontrol dengan menggunakan komputer. Bak
pengomposan dibagi menjadi dua zona, zona pertama untuk bahan yang masih mentah
dan selanjutnya diaduk secara mekanik dan diberi aerasi. Kompos akan masuk ke
bak zona ke dua dan proses pematangan kompos dilanjutkan.
Gambar 6 Box/Tunnel Composting System
Metode pembuatan kompos
menurut Simanungkalit, et.al. (2009)
dibagi menjadi beberapa metode, diantaranya sebagai berikut.
1.
Metode
Indore
Pengomposan dilakukan di
dalam lubang, yang dibuat dekat kandang ternak. Lubang berukuran kedalaman 1 m,
lebar 1,5-2 m, panjang lubang tergantung dari ketersediaan bahan. Bahan dasar
yang digunakan adalah campuran sisa/residu tanaman, kotoran ternak, urine
ternak, abu bakaran kayu, dan air. Bahan yang keras tidak boleh melebihi 10%.
Semua bahan yang tersedia disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan
masing-masing 15 cm, dengan total ketebalan 1,0-1,5 m. Setiap lapisan disiram
urine ternak secara merata, kelembaban tumpukan dijaga sekitar 90%. Pembalikan
dilakukan 3 kali, yaitu pada 15, 30 dan 60 hari setelah kompos mulai dibuat.
2.
Metode Heap
Pengomposan dilakukan di
permukaan tanah. Petak timbunan dibuat berukuran lebar 2 m, panjang 2 m dan
tinggi timbunan 1,5 m. Lapisan dasar pertama adalah bahan yang kaya karbon
setebal 15 cm (dedaunan, jerami, serbuk gergaji, dan batang jagung), lapisan
berikutnya adalah bahan yang kaya nitrogen setebal 10-15 cm (residu sisa
tanaman, rumput segar, kotoran ternak, dan sampah organik). Timbunan disusun
hingga ketinggian 1,5 m. Kelembaban dijaga dengan menambahkan air secukupnya.
Pembalikan dilakukan setelah 6 dan 12 minggu setelah proses pengomposan
berlangsung.
3.
Metode Berkeley
Bahan dasar yang digunakan
adalah dua bagian bahan organik kaya selulosa dan satu bagian bahan organik
kaya nitrogen dengan nilai rasio C/N 30:1. Bahan disusun berlapis-lapis hingga
ketebalan berukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah 2-3 hari proses pengomposan
berjalan terbentuk suhu tinggi, secara berkala kompos harus dibalik. Setelah
hari ke-10, suhu mulai menurun dan bahan berubah menjadi remah dan berwarna
coklat gelap. Pengomposan selesai setelah 2 minggu.
4.
Vermi kompos.
Memanfaatkan cacing sebagai
perombak bahan organik. Kotoran cacing yang disebut kascing kaya N, P, K, Ca,
dan Mg yang tersedia bagi tanaman, mengandung vitamin, enzim, dan
mikroorganisme. Vermikompos dibuat dengan menggunakan kotak dari papan kayu
atau kotak plastic yang sudah tidak terpakai atau dengan skala besar. Tiga
tahap pembuatan vermikompos, pengadaan bahan organik, perbanyakan cacing tanah,
dan proses pengomposan.
2.3 Biogas
Biogas merupakan renewable energy yang dapat
dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal
dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Biogas juga sebagai salah satu
jenis bioenergi yang didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan
organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun
hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Rahmawati,
2013). Menurut Prihandana dan Hendroko, 2008 biogas merupakan sebuah proses
produksi gas bio dari material organik dengan bantuan bakteri. Proses degradasi
material organik ini tanpa melibatkan oksigen disebut anaerobic digestion. Gas yang dihasilkan sebagian besar (lebih 50 persen)
berupa methana. Material organik yang terkumpul pada digester (reaktor) akan
diuraikan melalui dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama,
material organik akan didegradasi menjadi asam lemah dengan bantuan bakteri
pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah pada tingkat hidrolisis
dan asidifikasi. Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks
atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi senyawa
yang sederhana. Sedangkan asidifikasi
yaitu pembentukan asam dari senyawa sederhana (Prihandana dan Hendroko, 2008).
Setelah material organik berubah menjadi asam, maka tahap kedua dari proses anaerobic digestion adalah pembentukan gas
methana dengan bantuan bakteri pembentuk methana seperti methanococus, methanosarcina, methano bacterium.
Proses pembuatan biogas yaitu dengan mencampurkan
bubur kotoran hewan dan bahan sisa organik lain dalam suatu penampung atau
pengumpul yang disambung dengan tangki digester dan anaerobik (Foth, 1988). Produksi gas
menimbulkan tekanan dalam tangki digester dan gas dialirkan keluar melalui
pipa. Perlahan-lahan sisa perombakan bahan organik dari tangki digester akan
keluar sebagai lumpur dan cairan yang masih berisi unsur penting bagi tanaman
sehingga sangat baik digunakan sebagai pupuk (Foth, 1988).
Gambar
7. Proses Pembuatan Biogas
Polprasert (1980) menyatakan
bahwa komposisi biogas terdiri dari metan (55-65%) dan karbondioksida (45-35%),
merupakan komponen gas yang dominan serta nitrogen (0-3%), hidrogen (0-1%),
hidrogen sulfida (0-1%), dan unsur N, P, K serta mineral lainnya yang
terakumulasi di sludge.
Junus (1987) mengemukakan
bahwa lumpur yang keluar dari instalasi biogas terdiri dari dua komponen yaitu
komponen padat dan cair berupa sludge.
Sludge yang keluar dari instalasi
biogas berupa padatan dan cairan. Sludge padat dapat diolah menjadi kompos
dengan cara dijemur dan dikemas sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Sludge cair dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik cair. Sludge
mempunyai kandungan hara yang sama
dengan pupuk organik yang telah matang sebagaimana halnya kompos. Oleh karena
itu sludge dapat langsung digunakan untuk memupuk tanaman. Menurut
Simamora dkk. (2005) sludge yang
berasal dari biogas sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung
berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti N, P,Mg, Ca, K, Cu
dan Zn.
2.4 Siklus Nitrogen
Nitrogen adalah unsur yang paling berlimpah di
atmosfer (78% gas di atmosfer adalah nitrogen). Nitrogen di alam berada dalam
berbagai bentuk dan berada dalam keadaan dinamis mengikuti perubahan fisik dan
kimia dalam suatu daur Nitrogen. Siklus nitrogen adalah suatu proses konversi
senyawa yang mengandung unsur nitrogen menjadi berbagai macam bentuk kimiawi
yang lain. Transformasi ini dapat terjadi secara biologis maupun non-biologis.
Siklus nitrogen secara khusus sangat dibutuhkan dalam ekologi karena
ketersediaan nitrogen dapat mempengaruhi tingkat proses ekosistem kunci,
termasuk produksi primer dan dekomposisi. Aktivitas manusia seperti pembakaran
bahan bakar fosil, penggunaan pupuk nitrogen buatan, dan pelepasan nitrogen dalam air limbah telah secara
dramatis mengubah siklus nitrogen global (Anonymous, 2011).
Sebagian besar nitrogen yang terdapat di dalam
organisme hidup berasal dari penambatan (reduksi) oleh mikroorganisme
prokariot. Sebagian diantaranya terdapat di akar tumbuhan tertentu atau dari
pupuk hasil penambatan secara industry. Sejumlah kecil nitrogen pindah dari
atmosfer ke tanah sebagai NH4+ dan NO3- bersama air hujan dan diserap oleh akar. NH4+
ini berasala dari pembakaran industry, aktivitas gunung berapi dan kebakaran
hutan sedangkan NO3- berasal dari oksidasi N2 oleh O2
atau ozon dengan bantuan kilat atau radiasi ultraviolet, sumber lain NO3- adalah samudera. Penyerapan NO3- dan NH4+
oleh tumbuhan memungkinkan tumbuhan untuk membentuk berbagai senyawa nitrogen
terutama protein. Pupuk, tumbuhan mati, mikroorganisme, serta hewan merupakan
sumber penting nitrogen yang dikembalikan ke tanah tapi sebagaian besar
nitrogen tersebut tidak larut dan tidak segera tersedia bagi tumbuhan.
Pengubahan nitrogen organic menjadi NH4+
oleh bakteri dan fungi tanah disebut Amnoifikasi yang dapat berlangsung oleh
berbagai macam mikroorganisme pada suhu dingin dan pada berbagai nilai ph.
Selanjutnya pada tanah yang hangat dan lembab dan ph sekitar netral NH4+
akan dioksidasi menjadi nitrit (NO2) dan NO3- dalam
beberapa hari setelah pembentukkannya atau penambahannya sebagai pupuk disebut
dengan Nitrifikasi yang berguna dalam menyediakan energi bagi kelangsungan
hidup dan perkembangan mikroba tersebut (Patty, 2010).
Selain itu terdapat pula denitrifikasi yaitu suatu
proses pembentukan N2, NO, N2O dan NO2 dari NO3-
oleh bakteri aneorobik yang
berlangsung di dalam tanah yang penetrasi O2-nya terbatas,
tergenang, padat dan daerah dekat pemukiman tanah yang konsentrasi O2-nya rendah karena penggunaannya
yang cepat dalam oksidasi bahan organik. Tumbuhan kehilangan sejumlah kecil
nitrogen ke atmosfer sebagai NH3, N2O, NO2,
dan NO terutama jika diberi pupuk nitrogen dengan baik.
Gambar 8. Siklus Nitrogen
2.6 Siklus Fosfor
Fosfor
dibutuhkan oleh semua organisme untuk energi dan pertumbuhan. Secara geokimia,
fosfor merupakan 11 unsur yang sangat melimpah di kerak bumi (Benitez-Nelson,
2000). Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur utama di dalam proses
fotosintesis. Fosfor biasanya berasal dari pupuk buatan yang kandungannya
berdasarkan rasio N-P-K. Sebagai contoh 15-30-15, mengindikasikan bahwa berat
persen fostor dalam pupuk buatan adalah 30% fosfor oksida (P2O5).
Fosfor yang dapat dikonsumsi oleh tanaman adalah dalam bentuk fosfat, seperti
diamonium fosfat ((NH4)2HPO4) atau kalsium
fosfat dihidrogen (Ca(H2PO4)2). Sementara
menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) fosfor merupakan kunci kehidupan tanaman
menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-)
dan ion ortofosfat sekunder (HPO42-). Kemungkinan P masih
dapat diserap dalam bentuk lain, yaitu pirofosfat dan metafosfat, selain itu
dapat pula diserap dalam bentuk senyawa fosfat organik yang larut dalam air
misalnya asam nukleat dan phitin.
Fosfat
merupakan salah satu bahan galian yang sangat berguna untuk pembuatan pupuk.
Sekitar 90% konsumsi fosfat dunia dipergunakan untuk pembuatan pupuk, sedangkan
sisanya dipakai oleh industri ditergen dan makanan ternak (Suhala & Ari,
1997). Di alam fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik
(pada tumbuhan dan hewan) dan anorganik (pada air, batu dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan
tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat
anorganik, begitu juga ddanya peristiwa erosi dan pelapukan menyebabkan fosfat
terbawa menuju sungai hingga laut membentuk sedimen di dasar laut. Adanya
pergerakan dasar bumi menyebabkan sedimen yang mengandung fosfat muncul ke
permukaan. Di darat tumbuhan mengambil fosfat yang terlarut dalam air tanah.
Herbivora mendapatkan fosfat dari tumbuhan yang dimakannya dan karnivora
mendapatkan fosfat dari herbivora yang dimakannya. Seluruh hewan mengeluarkan
fosfat melalui urin dan feses. Bakteri dan jamur mengurai bahan-bahan anorganik
di dalam tanah lalu melepaskan fosfor kemudian diambil oleh tumbuhan
Gambar 9. Daur Fosfor
Walaupun
dibutuhkan oleh organisme danau, keberadaan jumlah Fosfor dalam danau sangat
dibatasi, dimana jumlah Fosfor harus sangat kecil jika dibandingkan dengan
keberadaan jumlah Nitrogen. Pembatasan keberadaan jumlah Fosfor di perairan
danau diindikasikan oleh sejumlah parameter berikut ini (Sigee, 2004).
1.
Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan
dengan perbandingan antara konsentrasi Fosfor dengan konsentrasi Nitrogen dalam
badan air, dimana rasio N/P adalah >10 : 1.
2.
Konsentrasi Fosfor yang ideal di perairan danau diindikasikan
dengan perbandingan antara Partikulat Karbon (PC), Partikulat Fosfor (PP) dan
Partikulat Nitrogen (PN), dimana pembatasan jumlah konsentrasi Fosfor dalam
badan air diindikasikan oleh rasio PC/PN > 106 dan PN/PP > 16.
2.7 Rekayasa Genetika untuk Pemuliaan
Tanaman
Pemuliaan
tanaman dilakukan untuk mendapatkan
bibit tanaman atau hewan ternak yang lebih unggul sehingga dapat kita nikmati
hasilnya. Contohnya terdapat berbagai jenis buah-buahan yang unggul dan dijual
di supermarket, antara lain ; semangka tanpa biji, jeruk mandarin, durian
montong, jambu Bangkok, jagung manis, tomat tanpa biji, dll.
1. Hibridasi (perkawinan silang)
Hibridasi
merupakan suatu proses perkawinan silang antara dua individu tumbuhan yang
memiliki jenis yang sama, tetapi berbeda varietasnya. Proses ini dikembangkan secara ilmiah oleh
seorang ahli genetika yang juga seorang biarawan Gregor John Mendel. Di dalam
proses hibridasi, perlu diperhatikan hal-hal, sebagai berikut.
a
Sifat anak dari hasil hibridasi
merupakan sifat gabungan dari kedua induknya.
b
Untuk mengetahui sifat unggul dari suatu
tanaman budi daya, sebaiknya kita mengetahui susunan gen (genotipe) tanaman
yang akan kita hibridasi. Dengan demikian sifat keturunannya dapat dengan mudah
kita prekdisikan. Ada gen yang lebih unggul dari gen lainnya dalam satu lokus,
sehingga akan menutup penampakan dari gen lain sebagai pasangannya
2. Radiasi untuk Memperoleh Bibit
Unggul
Dengan
memberikan efek radiasi pada tanaman
dapat menimbulkan perubahan struktur dan komposisi baik pada tingkat
kromosom maupun DNA-nya. Jadi pada prinsipnya, radiasi
yaitu memberikan sinar radioaktif terhadap bibit tanaman tertentu,
sehingga gen atau kromosom pada tanaman tersebut dapat bermutasi. Sehingga akan
diperoleh mutan-mutan baru dan dengan cara seleksi akhirnya akan diperoleh
mutan yang diinginkan. Dengan cara radiasi di Indonesia telah menghasilkan
tanaman unggul yang dapat kita kenal seperti papaya berbuah besar, tak berbiji,
dan rasanya manis; kedelai muria yang mempunyai sifat berbentuk tanaman pendek,
tahan rebah, produksi lebih tinggi, umur lebih pendek, dan tahan terhadap
penyakit karat daun; jenis padi seperti otomita II dan otomita II yang
mempunyai sifat unggul berupa tahan terhadap hama wereng coklat hijau, umur
pendek, produksi lebih tinggi, dan rasa lebih enak.
3. DNA Rekombinan
Teknik
DNA-rekombinan yaitu mentransfer gen dari suatu organisme ke dalam organisme
lainnya yang belum tentu mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Organisme yang diperoleh dengan cara ini disebut organisme
transgenik. Tanaman transgenik merupakan tanaman yang mengandung gen
asing didalam genomnya. Gen asing ini disebut transgene. Sebagai contoh, transgene yang banyak dipakai untuk
menghasilkan tanaman tahan hama yaitu gen Bt yang berasal dari bakteri tanah
yaitu Bacillus thuringiensis. Gen ini dapat menghasilkan protein yang
mampu membunuh serangga Lepidoptera. Tanaman yang mengandung gen BT tidak
disukai serangga, sehingga mengurangi penggunaan insektisa delama proses
pertumbuhan tanaman. Tanaman-tanaman transgenik dengan gen BT yang sudah diuji
coba antara lain padi, jagung dan kentang.
Transgene dapat masuk ke dalam sel inang melalui transformasi
(menggunakan vektor plasmid) atau transfeksi (menggunakan vektor virus).
Secara sederhana tahap perakitan tanaman transgenik adalah sebagai berikut.
1.
Isolasi gen atau DNA dari organisme tertentu yang mempunyai
sifat spesifik
2.
Ligasi DNA traget ke dalam vektor sehingga terbentuk DNA
rekombinan
3.
Transformasi vektor (DNA rekombinan) ke dalam bakteri
tertentu dengan tujuan untuk memperbanyak kopi DNA rekombinan
4.
Penyisipan vektor dengan DNAtarget ke dalam sel tanaman yang
dikehendaki yang mempunyai sifat tersebut.
Gambar 10. Tahap Perakitan Tanaman
Transgenik
2.8 Virus, Bakteri, dan Jamur
Perusak Tanaman
A.
Penyakit yang disebabkan jamur
1.
Pada kacang tanah
a)
Bercak daun Cercospora
spp
b)
Bercak daun Cercosporidium
spp
c)
Penyakit Karat Puccinia
Arachidis
d)
Busuk leher akar Aspergillus
Niger
e)
Jamur kuning dan Alfatoksin Aspergillus flavus
f)
Busuk batang Sclerotium
rolfsii
2.
Penyakit bulai pada jagung dapat dalam Shurtleff (1980), Wakman dan Djatmiko
(2002), serta Rathore dan Siradhana (1988) melaporkan disebabkan oleh 10 spesies dari tiga generasi
yaitu:
a)
Peronosclerospora maydis (Java downy mildew)
b)
P. philippinensis (Philippine downy mildew)
c)
P. sorghi (Sorghum downy mildew)
d)
P. sacchari (Sugarcane downy mildew)
e)
P. spontanea (Spontanea downy mildew)
f)
P. miscanthi (Miscanthi downy mildew).
g)
P. heteropogoni (Rajasthan downy mildew)
h)
Sclerophthora macrospora (Crazy top)
i)
S. rayssiae var. zeae (Brown stripe)
j)
Sclerospora graminicola (Graminicola downy mildew)
3.
Penyakit layu pada tanaman Solanaceae disebabkan oleh Fusarium
(Semangun 1996). Penyakit yang disebabkan bakteri
a.
Pada kacang tanah penyakit layu disebabkan Pseudomonas
solanacearum
b.
Penyakit busuk batang jagung disebabkan oleh bakteri Erwinia
chrysanthemi pv. zeae
c.
Penyakit hawar dan layu bakteri Goss disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium nebraskense (Shurtleff 1980).
d.
Penyakit pada tanaman jagung hawar daun Stewart’s yang
disebabkan oleh bakteri Erwinia stewartii
B. Penyakit Yang Disebabkan Virus
1.
Penyakit virus belang (Groundnut mottle virus)
2.
Penyakit Bilur (peanut stripe virus)
3.
Penyakit Belang Samar (Cowpea mild motlle virus)
4.
Penyakit mozaik dan penyakit sapu (witchesbroom)
5.
Penyakit Virus Mosaik Kerdil Jagung (Maize Dwarf Mosaic Virus
= MDMV)
6.
Penyakit Virus Kerdil Khlorotik Jagung (Maize Chlorotic Dwarf
Virus Disease = MCDV)
7.
Penyakit Mosaik Virus Jagung (Maize Mosaic Virus Disease =
NMV)
8.
Penyakit Virus Gores Jagung (Maize Streak Virus Disease =
MSV)
9.
Penyakit Virus Mosaik Tebu (Sugarcane Mosaic Virus = ScMV)
10. CVPD (Citrus Vein Phloem
Degeneration) adalah penyakit yang merusak pembuluh tapis batang tanaman jeruk
yang disebabkan oleh virus.
11. TMV (Tobacco Mozaic Virus)
virus mosaik yang menyerang tanaman tembakau. Daun tanaman tembakau yang
terserang virus mosaik menjadi berwarna belang hijau muda sampai hijau tua.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah diuraikan, kesimpulan
yang dapat diambil sebagai berikut.
1.
Peran mikoriza dalam bidang pertanian adalah sebagai bioindikator
kualitas lingkungan, mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman
hayati karena dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada
habitat-habitat yang mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah,
sebagai jembatan transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya.
2.
Manfaatn kompos dalam bidang pertanian adalah memperbaiki
struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan
meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah.
3.
Manfaat biogas dalam bidang pertanian adalah keluaran limbah
biogas berupa sludge yang sangat baik
untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan
oleh tumbuhan seperti N, P, Mg, Ca, K, Cu dan Zn.
4.
Siklus nitrogen merupakan suatu proses konversi senyawa yang
mengandung unsur nitrogen menjadi berbagai macam bentuk kimiawi yang lain,
sedangkan siklus fosfor sangat penting karena merupakan unsur utama di dalam
proses fotosintesis.
5.
Macam-macam rekayasa genetika untuk
pemuliaan tanaman adalah hibridasi (perkawinan silang), radiasi untuk memperoleh bibit unggul, dan DNA rekombinan.
6.
Virus, bakteri, dan jamur perusak
tanaman seperti: Bercak daun Cercospora spp, penyakit
virus belang (Groundnut mottle virus), dll.
DAFTAR
RUJUKAN
Anonymous. 2011.
Siklus Nitrogen. (Online). (http://.agroinformatika.net/2011/11/siklusnitrogen.html).
Diakses 14 November 2014.
Benitez-Nelson,
C.R.2000. The biogeochemical cycling of phosphorus in marine systems. Jurnal
Earth-Science Reviews , 51: 109-135.
Delvian. 2006. Peranan Ekologi dan Agronomi Cendawan Mikoriza Arbuskula. (Online).
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1089/1/06005281.pdf), diakses
pada 13 Oktober 2014.
Foth,
H. D. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan Endang D. P., Dwi R. L., dan
Rahayuning T. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hartoyo, B., Ghulamahdi, M., Darusman,
L.K., Aziz, S. A., & Mansur, I., 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Rizosfer Tanaman
Pegagan (Centella Asiatica (L.)
Urban). Jurnal Littri. (Online),
17 (1): 32-40, (http://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/upload.files/File/
publikasi/jurnal/Jurnal%20Littri%2017(1)2011/Jurnal%20Littri%2017(1)
011-BudiH.pdf),
diakses pada 13 Nopember 2014.
Husna, Tuheteru, D. F., & Mahfudz.
2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati Di Muna. Info Teknis. (Online) 5 (1), (http://www.forda-mof.org/files/aplikasi__mikoriza_untuk_memacu_pertumbuhan_jati__di_muna.pdf),
diakses pada 13 Nopember 2014.
Isroi. 2008. Kompos. (Online), (http://isroi.files.wordpress.com/2008/02/kompos.pdf),
diakses 13 Nopember 2014.
Junus,
M. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gas Bio. Gajah Mada University
Press, Malang.
Kusnadi,
Peristiwati, Syulasmi, A., Purwaningsih, W., & Rochintaniawati, D.. 2003. Mikrobiologi. Malang: Technical Cooperation
Project for Development of Science and Mathematic Teaching for Primary and
Secondary Education in Indonesia (IMSTEP) JICA.
Laboratorium Pengamatan Hama dan
Penyakit Banyumas. 2012. Mikoriza dan
Peranannya. (Online). (http://warsitotti.files.wordpress.com/2012/01/mikoriza.pdf),
diakses pada 13 Nopember 2014.
Patty,
Aldi. 2010. Fiksasi Nitrogen Oleh Bakteri. (Online). (http://aldipatty.com/2010/12/fiksasi-nitrogen-oleh-bakteri.html), Diakses pada 14 November
2014.
Polprasert,
C. 1980. Organic Waste Recycling. John Wiley ans Sons, Chicester.
Prihandana,
R dan Hendroko, Roy. 2008. Energi Hijau Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri
Energi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahmawati, Ari. 2013. Limbah Peternakan Sapi Dan Penanggulangan. Jurnal pencemaran lingkungan, Vol. 4, Tahun 2013 Universitas
Bengkulu.
Rathore, R. S.
and B. S. Siradhana. 1988. Survival and
inoculum buildup of Peronosclerospora heteropogoni on root of Heteropogon
contortus and its control. Fifth International Congres of Plant Pathology.
Book of Abstract.
Rosmarkam, A.
dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan
Tanah.Yogyakarta: Kanisius.
Sasli, Iwan & Ruliansyah, Agus.
2012. Pemanfaatan Mikoriza Arbuskula Spesifik Lokasi untuk Efisiensi Pemupukan
pada Tanaman Jagung di Lahan Gambut Tropis. Agrovigor.
(Online), 5 (2): 65-74, (http://pertanian.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2013/02/1.-Agrovigor-Sept-2012-Vol-5-No-2-Pemanfaatan-Mikoriza-Arbuskula-Iwan-S-.pdf),
diakses pada 13 Nopember 2014
Semangun,
H. 1996. Pengantar Penyakit Tumbuhan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Sigee, D.C.
2004. Freshwater Microbiology. West Sussex: John Willey and
Sons
Simamora,S,
dkk. 2005. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas. Agro Medika
Pustaka.
Simanungkalit,
R.D.M., Suriadikarta, D. A., Saraswati, R., Setyorini, D., & Hartatik, W..
2009. Teknologi Kompos. (Online), (http://203.176.181.70/bppi/lengkap/bpp09039.pdf),
diakses pada 13 Nopember 2014.
Shurtleff,
M.C. 1980. Compendium of Corn Diseases.
Second Edition. USA :The American Phytopathological Society.
Suhala, S. &
Ari M.1997.Bahan galian industri.
Bandung :Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral.
Wakman, W. dan
H. A. Djatmiko. 2002. Sepuluh spesies
cendawan penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung. Makalah Disajikan
pada Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia di UNSOED Purwokerto,
7 September 2002
Yuniwati, M., Iskarima, F., & Padulemba, A.. 2012.
Optimalisasi Pembuatan Kompos dari Sampah Organik dengan Fermentasi Menggunakan
EM4. Jurnal Teknologi, (Online), 5
(2): 172-181, (http://jurtek.akprind.ac.id/sites/default/files/172_181_murni1.pdf),
diakses pada 13 Noprmbrt 2014.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar